Seorang Ayah melihat semut berhamburan di lantai. Naluri pelindungnya menyala, khawatir semut-semut itu akan menggigit anaknya. Ia dan ist...
Seorang
Ayah melihat semut berhamburan di lantai. Naluri pelindungnya menyala, khawatir
semut-semut itu akan menggigit anaknya.
Ia
dan istrinya segera bekerjasama, suami menyapu lantai dan istri menjaga agar
anaknya yang berusia 2 tahun itu tidak menghampiri kerumunan semut itu.
Apa
yang terjadi?
Anak 2 tahun itu, tetap penasaran dengan apa yang ada di depan matanya. Ibunya dengan sigap menahannya, atau mengalihkan perhatiannya pada hal lain.
Namun anak itu adalah anak yang fokus, hanya mau mencapai apa yang ia tuju. Sepersekian detik ia berlari ke kerumunan semut tersebut, penasaran akan apa yang ingin dilihatnya.
Ibunya berusaha mengejarnya, namun kalah cepat dengan bentakan sang Ayah. Sang Ayah membentak bocah nan polos itu, sementara si Bocah tak tahu apa kesalahan yang diperbuat.
Nampak
ekspresi anak tersebut ketakutan, tak tahu mengapa Ayahnya jadi begitu
menyeramkan.
Dan
air mata bocah itu pun pecah, ia menangis sejadinya. Takut, bingung, dan tak
mengerti apa pasal ia dibentak.
Ia
hanya ingin tahu, apa makhluk kecil yang berkerumun itu.
Ia
hanya ingin tahu, mengapa makhluk kecil yang banyak itu hinggap di lantai
rumahnya.
Ia
hanya ingin melihat dan diberi penjelasan, bukan bentakan. Karena ia tak tahu
mengapa Ayahnya marah. Yang ia tahu hanya perasaan yang sesak, air mata yang
pecah sejadinya.
Di
waktu yang sama, sang Ayah pun tak tahu telah memutus syaraf otak anaknya yang
baru berkembang itu.
Yang Ayah nya tahu hanya rasa kesal, karena anaknya mendekati kerumunan semut. Yang Ayah nya tahu hanya lah ingin memberi perlindungan, takut anaknya tergigit semut.
Ya, niat yang terlihat baik. Namun cobalah timbang mudharatnya. Manakah yang lebih besar mudharatnya, gigitan semut yang tak seberapa atau putusnya syaraf otak anak yang mungkin tak akan kembali?
Cerita diatas hanya ilustrasi tentang betapa peran kita sebagai orangtua yang sering dihadapkan dengan tingkah anak yang mungkin bisa membuat marah.
Namun, jika
dirunut dari peristiwa yang terjadi, seberapa besar kah hal yang dilakukan anak
kita?
Sebegitu
fatalnya kah, hingga membuat kita amat marah padanya. Hingga akhirnya sebagai
orang tua pun menyesal, karena sudah memarahi atau bernada tinggi pada anak.
Mengutip
hasil penelitian ahli saraf dari Chicago Medical School, Lise Eliot, bahwa satu
bentakan saja dapat merusak miliaran sel-sel otak anak.
“Pada anak yang masih dalam masa pertumbuhan, yaitu pada masa golden age, usia 2-3 tahun pertama kehidupan, suara keras dan bentakan dari orang tua dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh.
Sebaliknya, bila orang tua memberikan belaian lembut pada anak, menyusuinya, mengajaknya bermain dengan bahagia, maka rangkaian otaknya akan terbentuk dengan indah.”
Mengutip pendapat ahli lain yakni salah seorang dokter ahli ilmu otak bidang Neuroscience, Amir Zuhdi mengatakan bahwa ketika orangtua membentak, anak akan merasa ketakutan.
Ketika muncul rasa takut, produksi hormon kortisol di otak meningkat. Pada anak-anak yang tinggi tingkat hormon kortisolnya maka akan memutus sambungan neuron atau sel-sel otak.
Selain itu, akan terjaadi percepatan kematian neuron atau apoptosis. Apa akibatnya jika neuron terganggu?
Menurut
Amir, banyak hal yang bisa terjadi seperti proses berfikir anak menjadi
terganggu, sulit mengambil keputusan, anak tidak bisa menerima informasi dengan
baik, tidak mampu membuat perencanaan, hingga akhirnya tidak memiliki
kepercayaan diri.
Jika dianalogikan, neuron ibarat file-file yang terkumpul dalam PC namun jika terlampau banyak file-file emosi negatif, maka ia akan mempengaruhi PC menjadi lambat.
Jika diibaratkan sebuah PC, mana yang lebih anda harapkan? PC cepat
atau lambat? Maka jangan rusak otak anak kita dengan emosi-emosi negatif yang ter-install
kedalam otaknya.
Bagian otak anak yang pertama kali tumbuh adalah bagian otak yang berkaitan dengan emosi. Dalam bagian itu, yang paling besar adalah emosi takut.
Itulah mengapa
saat anak-anak akan mudah merasa takut. Semakin sering dibentak dengan keras
dan membuat anak takut, semakin tinggi pula kerusakan neuron pada anak.
Oleh
karena itu, disinilah pentingnya orang tua bisa mengelola emosi dengan baik.
Ketika anak berbuat salah, beri ia pengertian ataupun peringatan tanpa
membentaknya.
Karena menjadi
orangtua adalah tentang kesabaran.
Kesabaran itu
yang akan menjadi contoh bagi anak.
Kesabaran itu
yang akan menjadi pupuk bagi tumbuh kembang anak-anak kita yang optimal.
Kesabaran itu
yang kelak akan kita panen hasilnya, berupa akhlakul karimah anak-anak kita.
Bukankah
sejatinya itu yang semua orangtua inginkan, anak-anaknya menjadi sholeh?
Mulailah
terlebih dahulu dengan menjadi orangtua yang sabar, karena sejatinya sabar tak
terbatas seperti kasih sayang orang tua...
COMMENTS